JAKARTA – Pemerintah harus merevisi aturan tunjangan hari raya (THR). Peraturan yang ada sulit untuk memidanakan perusahaan yang enggan membayar tunjangan Lebaran itu karena tidak punya kekuatan hukum untuk memberi sanksi pidana bagi pelanggarnya.
Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mendesak revisi ini karena peraturan yang ada masih menginduk pada undang-undang lama. Terutama karena ketiadaan soal penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggar. Seharusnya aturan THR ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah atau keputusan presiden supaya lebih kuat kedudukannya. “Saat ini sudah ada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun aturan THR di Permenakertrans No 4/1999 masih merujuk ke UU No 14/1969 yang sudah dicabut,” katanya kepada KORAN SINDO kemarin. Menurut politikus PKS itu, pernyataan resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang akan memidanakan perusahaan yang tidak membayar THR justru membingungkan karena dasar hukumnya tidak ada.
Zuber menjelaskan, ada tiga pelanggaran yang sering dilakukan perusahaan, tetapi tidak pernahditindaktegas. Pertama, THR tidak diberikan. Modus ini marak terjadi di perusahaan outsourcing danperusahaanyangmempekerjakan pegawai kontrak. Menurut dia, kedua macam perusahaan itu memberhentikan pekerjanya sebelum hari raya untuk menghindari THR. Namun, mereka kerap mengangkat para pekerja itu kembali setelah Lebaran.
Atau mereka beralasan tidak membayar THR karena para karyawan itu masih dalam masa percobaan. “Padahal di permenakertrans disebut bahwa pekerja yang masih kontrak tetap mendapatkan THR secara proporsional,” paparnya. Pelanggaran kedua soal besaran THR. Zuber menyebutkan, permenakertrans mewajibkan pekerja untuk mendapatkan THR dengan besaran satu bulan gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap. Fakta di lapangan justru berbeda, banyak kasus THR hanya dibayarkan sebesar gaji pokok saja tanpa tunjangan tetap.
Selain itu, ketentuan gaji pokok ini seharusnya mengacu pada upah minimum. Ketiga,soal waktu pembayaran THR. Permenakertrans No 4/1994 mewajibkan pengusaha membayarkan THR maksimal tujuh hari sebelum Lebaran. Kenyataannya, kata dia, banyak pekerja dibayarkan THR-nya satu atau dua hari sebelum Lebaran. “Namun, yang paling parah adalah ketentuan tersebut mandul karena sanksinya tidak jelas. Pemerintah maksimal hanya bisa mengimbau tanpa bisa menindak.
Seharusnya kondisi ini tidak dibiarkan berlarut,” ujar Zuber. Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning menjelaskan, setiap tahun selalu ada kasus perusahaan tidak membayar THR. Padahal sudah ada peraturan pemerintah yang menegaskan perhal tersebut. Dia meyakini tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap perusahaan yang tidak membayar THR. “Kasus berulang- ulang ini terjadi karena pemerintah tidak pernah menegur perusahaan yang bandel,” ungkapnya.
Politikus PDIP itu pun meminta Menakertrans merealisasi janjinya untuk menindak tegas perusahaan yang tidak membayar THR. Dia meminta jumlah pengawas ketenagakerjaan ditambah karena tidak memadai. Selain itu harus ada sistem jemput bola ke setiap perusahaan untuk melakukan pemeriksaan yang intensif mengenai besaran THR yang akan dibayar.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membenarkan perihal tidak sinkronnya permenakertrans ini dengan UU Ketenagakerjaan. Pemerintah diharapkan bersikap tegas dengan mengubah permenakertrans dengan keputusan presiden(keppres). Pasalnya, permenakertrans tidak akan memberikan efek jera. Hal ini terbukti dengan mayoritas perusahaan tidak membayar THR.
Jika bayar pun nominalnya kurang dari sebulan upah. Maka jika dengan keppres perusahaan yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana dan perdata. Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta dengan peraturan yang baru, tanggal terakhir pemberian THR adalah tiga minggu sebelum hari raya. Supaya ada waktu cukup bagi buruh untuk melaporkan kantornya yang tidak membayar tunjangan Lebaran. neneng zubaidah
Sumber : http://www.koran-sindo.com/node/318182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar