Selasa, 23 Juli 2013

Aturan THR Harus Direvisi - Pemerintah Hanya Bisa Mengimbau tanpa Bisa Menindak Tegas atau Memidanakan

JAKARTA – Pemerintah harus merevisi aturan tunjangan hari raya (THR). Peraturan yang ada sulit untuk memidanakan perusahaan yang enggan membayar tunjangan Lebaran itu karena tidak punya kekuatan hukum untuk memberi sanksi pidana bagi pelanggarnya. 

Anggota Komisi IX DPR Zuber Safawi mendesak revisi ini karena peraturan yang ada masih menginduk pada undang-undang lama. Terutama karena ketiadaan soal penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggar. Seharusnya aturan THR ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah atau keputusan presiden supaya lebih kuat kedudukannya. “Saat ini sudah ada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Namun aturan THR di Permenakertrans No 4/1999 masih merujuk ke UU No 14/1969 yang sudah dicabut,” katanya kepada KORAN SINDO kemarin. Menurut politikus PKS itu, pernyataan resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang akan memidanakan perusahaan yang tidak membayar THR justru membingungkan karena dasar hukumnya tidak ada. 

Zuber menjelaskan, ada tiga pelanggaran yang sering dilakukan perusahaan, tetapi tidak pernahditindaktegas. Pertama, THR tidak diberikan. Modus ini marak terjadi di perusahaan outsourcing danperusahaanyangmempekerjakan pegawai kontrak. Menurut dia, kedua macam perusahaan itu memberhentikan pekerjanya sebelum hari raya untuk menghindari THR. Namun, mereka kerap mengangkat para pekerja itu kembali setelah Lebaran. 

Atau mereka beralasan tidak membayar THR karena para karyawan itu masih dalam masa percobaan. “Padahal di permenakertrans disebut bahwa pekerja yang masih kontrak tetap mendapatkan THR secara proporsional,” paparnya. Pelanggaran kedua soal besaran THR. Zuber menyebutkan, permenakertrans mewajibkan pekerja untuk mendapatkan THR dengan besaran satu bulan gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap. Fakta di lapangan justru berbeda, banyak kasus THR hanya dibayarkan sebesar gaji pokok saja tanpa tunjangan tetap. 

Selain itu, ketentuan gaji pokok ini seharusnya mengacu pada upah minimum. Ketiga,soal waktu pembayaran THR. Permenakertrans No 4/1994 mewajibkan pengusaha membayarkan THR maksimal tujuh hari sebelum Lebaran. Kenyataannya, kata dia, banyak pekerja dibayarkan THR-nya satu atau dua hari sebelum Lebaran. “Namun, yang paling parah adalah ketentuan tersebut mandul karena sanksinya tidak jelas. Pemerintah maksimal hanya bisa mengimbau tanpa bisa menindak. 

Seharusnya kondisi ini tidak dibiarkan berlarut,” ujar Zuber. Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning menjelaskan, setiap tahun selalu ada kasus perusahaan tidak membayar THR. Padahal sudah ada peraturan pemerintah yang menegaskan perhal tersebut. Dia meyakini tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap perusahaan yang tidak membayar THR. “Kasus berulang- ulang ini terjadi karena pemerintah tidak pernah menegur perusahaan yang bandel,” ungkapnya. 

Politikus PDIP itu pun meminta Menakertrans merealisasi janjinya untuk menindak tegas perusahaan yang tidak membayar THR. Dia meminta jumlah pengawas ketenagakerjaan ditambah karena tidak memadai. Selain itu harus ada sistem jemput bola ke setiap perusahaan untuk melakukan pemeriksaan yang intensif mengenai besaran THR yang akan dibayar. 

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membenarkan perihal tidak sinkronnya permenakertrans ini dengan UU Ketenagakerjaan. Pemerintah diharapkan bersikap tegas dengan mengubah permenakertrans dengan keputusan presiden(keppres). Pasalnya, permenakertrans tidak akan memberikan efek jera. Hal ini terbukti dengan mayoritas perusahaan tidak membayar THR. 

Jika bayar pun nominalnya kurang dari sebulan upah. Maka jika dengan keppres perusahaan yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana dan perdata. Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta dengan peraturan yang baru, tanggal terakhir pemberian THR adalah tiga minggu sebelum hari raya. Supaya ada waktu cukup bagi buruh untuk melaporkan kantornya yang tidak membayar tunjangan Lebaran. neneng zubaidah    

Sumber :  http://www.koran-sindo.com/node/318182

Senin, 15 Juli 2013

Zakat, Infaq dan Sodaqoh

Zakat adalah merupakan Rukun Iman yang ketiga. Arti menurut bahasa  adalah “berkembang” atau “pensucian”. Sementara menurut syar’i, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).

Memaknai kata “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak berupa pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan kata lain Zakat adalah “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti sodaqoh tathawwu’ (sedekah sunnah). Sementara ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syar’i yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan sodaqoh? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infaq dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain - lain  sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.

Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal)

Adapun istilah sodaqoh, maknanya berkisar pada tiga pengertian berikut ini:

Pertama, sodaqoh adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sodaqoh, tanpa disertai imbalan. Sodaqoh ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah sodaqoh tathawwu’ atau ash sodaqoh an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash sodaqoh al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima sodaqoh akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syar’i:

“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan sodaqoh, maka sodaqoh menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syar’i :

“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah sodaqoh secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah sodaqoh dalam arti yang pertama ini yang hukumnya sunnah bukan zakat.

Kedua, sodaqoh adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari sodaqoh, sebab dalam nash-nash syar’i terdapat lafazh “sodaqoh” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil - amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman:

“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “sodaqoh”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, sodaqoh merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata sodaqoh dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan sodaqoh sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sodaqoh –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan sodaqoh tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan sodaqoh yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “sodaqoh” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “sodaqoh” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “sodaqoh” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga, sodaqoh adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syar’i). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin sodaqoh” (Setiap kebajikan, adalah sodaqoh).

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sodaqoh, memberi nafkah kepada keluarga adalah sodaqoh, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sodaqoh, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah sodaqoh, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga sodaqoh.

Agaknya arti sodaqoh yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan sodaqoh dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, sodaqoh adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bersodaqoh (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti sodaqoh yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin sodaqoh”) beliau mengisyaratkan bahwa sodaqoh di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai sodaqoh, karena disamakan dengan sodaqoh (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut sodaqoh, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya sodaqoh. Amar ma’ruf nahi munkar disebut sodaqoh, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya sodaqoh. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).

Walhasil, sebagaimana halnya makna sodaqoh yang kedua, makna sodaqoh yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “sodaqoh”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : “Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”

“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)

Namun demikian, bisa saja lafazh “sodaqoh” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “sodaqoh” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti sodaqoh sunnah. Misalnya firman Allah:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)

Kata “sodaqoh” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “sodaqoh” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta sodaqoh, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfaqkan hartanya. Jadi penginfaqan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.

Tips Sehat Puasa Ramadhan

Alhamdulillah akhirnya kita bisa merasakan Bulan Ramadhan yang ke sekian kalinya. Mudah – mudahan kita dapat menjadikan Bulan Ramadhan ini sebagailadang menabung amal dan melatih diri kita untuk lebih baik.
Sebagai pekerja yang selalu sibuk dengan aktifitas kita dalam memenuhi kebutuhan hidup, kita harus tetap berusaha untuk dapat melaksanakan Rukun Islam yang keempat ini.
Shaum Ramadhan sudah pasti berdampak baik bagi kesehatan.  Berikut Tips Sehat Shaum / Puasa yang perlu Anda lakukan agar shaum Anda tetap menyehatkan.
  • Minum yang cukup. Hidrasi adalah hal yang sangat penting selama shaum Ramadhan. Setelah berbuka shaum, Anda harus minum dalam jumlah besar. Anda juga harus minum saat sahur. Kebutuhan hidrasi tubuh adalah sekitar 1,5 liter per hari.
  • Makan yang sehat. Anda sebaiknya menerapkan diet sehat pada saat berbuka. Jangan berlebihan makan kue dan makanan manis yang bahkan dalam jumlah besar sekalipun tidak memuaskan rasa lapar dan mengganggu pola makan Anda. Sangat lebih baik anda makan kurma yang dapat mengisi ulang energi dengan cepat.
  • Jangan langsung berbuka dalam jumlah besar. Mulailah dengan makanan pembuka yang tidak mengenyangkan dan tunggu sampai meresap di pencernaan sebelum makan besar.
  • Jangan makan terlalu banyak. Buka shaum seharusnya tidak identik dengan makan berlebihan. Makan berlebihan tidak hanya mengganggu tubuh, tetapi juga membuat ngantuk saat shalat tarawih.
  • Meskipun shaum dimulai dari matahari terbit sampai terbenam, Anda sebaiknya tetap makan tiga kali sehari: yang pertama saat sahur, yang kedua saat berbuka dan yang ketiga sekitar 2 atau 3 jam setelah berbuka.
  • Saat sahur, disarankan makan buah-buahan untuk vitamin dan sumber karbohidrat seperti nasi dan ubi-ubian yang dapat bertahan sampai berbuka shaum. Penting untuk bersantap sahur mendekati saat imsak.
  • Jika memungkinkan, tidurlah di awal siang untuk mengumpulkan energi. Hindari sinar matahari dan panas yang menimbulkan dehidrasi.
  • Minimalkan penggunaan tenaga fisik. Atlet harus ekstra hati-hati untuk tidak berolahraga terlalu keras selama bulan Ramadhan. Dianjurkan untuk berolahraga yang tidak intensif di sore hari sebelum saat berbuka.
  • Penderita diabetes. Penderita diabetes harus secara teratur memonitor gula darah mereka, cukup hidrasi dan tidak makan yang manis-manis tanpa nasihat medis.
  • Orang yang lemah fisik. Shaum seharusnya tidak memperburuk status kesehatan orang dengan kondisi medis. Ibu hamil atau menyusui, lansia, pasien hipertensi, penyakit jantung atau asma, biasanya tidak wajib shaum Ramadhan. Bila tetap bershaum, mereka harus berkonsultasi dengan dokter jika merasakan tanda-tanda gangguan kesehatan. Demi keselamatan yang lebih baik, disarankan untuk pergi ke dokter sebelum dan sesudah Ramadhan.
  • Jangan menghentikan pengobatan tanpa nasihat medis. Orang yang harus mendapatkan pengobatan berkala harus mendapatkan saran dari dokter dan ustadz mereka. Mereka tidak harus bershaum Ramadan jika hal itu membawa risiko pada kesehatan mereka.
  • Segera membatalkan shaum bila mendapatkan masalah kesehatan. Bila Anda mengalami masalah medis selama sehari dan tidak dapat pulih dengan cepat, mungkin sebaiknya Anda tidak bershaum sehari atau lebih. Hari-hari di mana Anda tidak shaum dapat diganti sebelum Ramadhan berikutnya.
Itulah beberapa Tips Sehat Shaum / Puasa yang dapat kami sampaikan, mudah - mudahan bermanfaat bagi kita.

Dapatkan selalu info ketenagakerjaan kota Tasikmalaya melalui layanan sms ke 08970020050

Sumber: diadaptasi dari AFP Relaxnews.

Tips Untuk Pekerja Kontrak

Secara hukum dikenal 2 (dua) macam Pekerja yaitu Pekerja Kontrak (PKWT) dan Pekerja Tetap atau Pekerja PKWTT/Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Pekerja Kontrak diartikan secara hukum adalah Pekerja dengan status bukan Pekerja tetap atau dengan kalimat lain Pekerja yang bekerja hanya untuk waktu tertentu berdasar kesepakatan antara Pekerja dengan Perusahaan pemberi kerja.
Dalam istilah hukum Pekerja kontrak sering disebut “Pekerja PKWT”, maksudnya Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Pengusaha tidak boleh mengubah status Pekerja Tetap menjadi Pekerja Kontrak. Apabila itu dilakukan akan melanggar hukum.
Secara aturan hukum tidak mengatur Eksplisit mengenai hal ini, namun justifikasi yang dapat disampaikan adalah bahwa status Pekerja dari Pekerja Tetap menjadi Pekerja Kontrak adalah sama saja dengan penurunan status.
Penurunan status Pekerja dari Tetap menjadi Kontrak adalah masuk kategori PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak dari Perusahaan dan dalam satu waktu yang sama Pengusaha mengangkat Pekerja (Tetap) tersebut menjadi Pekerja Kontrak.

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56 yang menyatakan :
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Salah satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh Pekerja Kontrak adalah Pekerja Kontrak harus memiliki/mendapatkan Surat Perjanjian Kerja yang ditandatangani oleh Pengusaha dan Pekerja yang bersangkutan


Ketentuan Umum PKWT Menurut Kepmenaker No. 100 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap
Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;.
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan
miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.

Jenis Pekerjaan apa saja yang dapat dilakukan Pekerja Kontrak ?
Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 yang menyatakan :
(1)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a.  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.  pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.  pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.  pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)   Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang besifat tetap.
Berdasar Penjelasan Pasal 59 ayat (2) menjelaskan :
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu.

Rincian lebih mendetail berdasarkan Kepmen No. 100 Tahun 2004

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN
PKWT untuk pekerjaan yang  sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian.

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN
Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. Hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT
sebagai pekerjaan musiman. Hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan.

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUK BARU

PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun. Tidak dapat dilakukan pembaharuan.
PKWT sebagaimana dimaksud hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.

PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS

Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan.
Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka
perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat :
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

PENCATATAN PKWT
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
Untuk perjanjian kerja harian lepas maka yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh .

PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pembatasan waktu maksimal bagi masa kerja bagi Pekerja Kontrak berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (4) yang menyatakan :
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Dan Pasal 59 ayat (6) yang menyatakan :
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

Jadi, Pekerja Kontrak dapat dikontrak maksimal selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk selama maksimal 1 (satu) tahun.
Namun apabila Pengusaha merasa cocok dengan kinerja Pekerja Kontrak, dapat dilakukan pembaruan PKWT dengan ketentuan hanya boleh dilakukan sekali untuk waktu maksimal 2 (dua) tahun.
Akibat hukum bagi Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja Kontrak namun tidak seperti aturan diatas Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (7) yang menyatakan :
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Berdasar aturan hukum tersebut misalnya jika ada Pekerja yang dikontrak 5 (lima) tahun maka Pekerja secara otomatis hukum, setelah 3 (tiga) tahun waktu ia bekerja menjadi Pekerja tetap.
Masa Percobaan tidak dapat di terapkan pada Pekerja Kontrak/PKWT. Hal ini berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 58 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :
(1)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2)   Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Jadi, Pekerja Kontrak yang di minta oleh Perusahaan untuk menjalani Masa Percobaan secara hukum tidak benar.

PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT KEPMEN NO. 100 TH 2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud di atas, maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.

Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 62 yang menyatakan :
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 60 menyatakan :
Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya  keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.



Maka berdasar aturan hukum di atas, Apabila Pekerja Kontrak diberhentikan sebelum kontraknya berakhir, berhak mendapat uang Ganti Rugi sejumlah ‘upah per bulan’ dikalikan jumlah bulan sisa kontrak yang belum dijalani Pekerja.

Dapatkan selalu Informasi Ketenagakerjaan Kota Tasikmalaya melalui layanan sms ke 08970020050